Beda FOMO dan JOMO. Mana Yang Baik Untuk Kesehatan Mental?

 

Beda FOMO dan JOMO
Beda FOMO dan JOMO | Pixabay


Buat kamu yang aktif di media sosial, tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah FOMO atau Fear of Missing Out dan JOMO atau Joy of Missing Out. Keduanya kerap digambarkan sebagai sikap sosial terhadap sebuah tren. 

Misalnya, ada orang yang merasa tidak nyaman jika ketinggalan informasi terbaru, atau justru ada juga orang yang lebih enjoy dengan kehidupannya, tanpa perlu repot memikirkan tren yang sedang terjadi media sosial atau lingkungannya. 


Lantas, apa beda FOMO dan JOMO?

Secara garis besar, FOMO atau Fear of Missing Out merupakan perasaan takut atau khawatir akan kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting atau menyenangkan yang sedang terjadi di media sosial, misalnya tren terbaru. 

Mereka yang masuk dalam kategori FOMO akan terus berusaha update, dan merasa bersalah jika ketinggalan tren tersebut. Misal challenge yang sedang trend di TikTok, destinasi wisata yang sedang dibicarakan banyak orang, dan lainnya

Sementara JOMO atau Joy of Missing Out merupakan sikap sebaliknya, dimana mereka merasa baik-baik saja saat ketinggalan atau kehilangan momen untuk menikmati tren terbaru yang sedang happening di media sosial atau lingkungannya. 

Justru sebaliknya, mereka merasa lebih bahagia dengan tidak mengetahui tren tersebut, ketimbang mengetahui dan mengikutinya. Intinya, orang-orang JOMO ini nggak peduli dan nggak mau peduli dengan tren terbaru. 

Misal, saat orang-orang ramai membicarakan gadget tertentu, bahkan berlomba-lomba untuk memilikinya, dia justru asyik dengan gadget lamanya. Out of date nggak apa-apa, yang penting masih berfungsi dengan baik, sesuai dengan kebutuhannya. 


Dampak FOMO dan JOMO

Dilansir dalam psikologi today, JOMO dan FOMO memiliki implikasi yang berbeda bagi kebahagiaan dan kesehatan mental seseorang. Selama dalam tahapan yang wajar, keduanya tidak memberikan efek berbahaya. 

Namun jika sudah berlebihan, FOMO cenderung menyebabkan stres dan rasa tidak puas dengan kehidupan. Sedangkan JOMO dapat membantu seseorang menemukan kenyamanan dan kebahagiaan dalam waktu sendiri.

Penelitian berjudul “FOMO: The influence of the fear of missing out on consumers’ shopping behavior”, yang diterbitkan dalam International Journal of Information Management, menyebut FOMO dapat mempengaruhi perilaku belanja konsumen. 

Dalam penelitian tersebut dijelaskan jika orang yang FOMO akan cenderung bersikap impulsif dalam belanja. Mereka membeli produk bukan karena kebutuhan, atau untuk kebutuhan produktif, namun karena takut ketinggalan tren terbaru. 

Sementara penelitian tahun 2013 berjudul Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out, yang terbit dalam Jurnal Computers in Human Behavior, menyebut jika FOMO berpengaruh pada kebahagiaan seseorang. 

Dalam penelitian tersebut dijelaskan jika sikap FOMO dapat mempengaruhi perilaku dan emosi individu, dimana sikap ini dapat menimbulkan stres dan rasa tidak puas, yang berdampak langsung pada kesejahteraan mentalnya.


JOMO Lebih Santai dan Rendah Stres

Penelitian tahun 2013 berjudul Facebook use predicts declines in subjective well-being in young adults, yang terbit dalam jurnal PloS One, membandingkan antara kesehatan mental mereka yang mengalami FOMO dan JOMO.

Hasilnya, penelitian tersebut menemukan fakta jika seseorang yang JOMO cenderung memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi dan lebih sedikit stres dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat FOMO tinggi.

Sementara penelitian tahun 2010, berjudul A private sphere: Democracy in a digital age, yang terbit dalam jurnal Polity, menyebut jika JOMO memiliki dampak positif pada kesejahteraan dan kualitas hidup seseorang.

Mereka yang JOMO cenderung lebih bahagia karena dapat menghabiskan waktu dengan diri mereka sendiri dan lebih sibuk mengejar minat mereka, ketimbang ikut terombang-ambing mengikuti arus tren yang cepat pudar.

Hal ini kemudian dipertegas lagi lewat penelitian tahun 2015 berjudul Adolescents’ need for social connectedness, fear of missing out, and internet use, yang terbit dalam Journal of Adolescence.

Penelitian tersebut menemukan fakta jika individu yang mengalami JOMO memiliki tingkat kesejahteraan (kebahagiaan) hidup yang lebih tinggi dan lebih sedikit stres dibandingkan dengan seseorang yang mengalami FOMO.


Bagaimana Solusinya?

FOMO dan JOMO merupakan dua hal yang saling berkebalikan, namun berhubungan langsung dengan kehidupan dan kesehatan mental seseorang. Sekarang tugas kamu hanya perlu mencari tahu, apakah kamu termasuk FOMO atau JOMO.

Jika berada dalam lingkaran FOMO, ada baiknya untuk mengendalikan hal tersebut. Mengikuti tren bisa memberi dampak positif, tapi jangan berlebihan. Pertimbangan utamanya, apakah tren tersebut bermanfaat untuk kehidupan dan masa depanmu, atau tidak. 

Sementara jika kamu berada di lingkaran JOMO, tidak ada salahnya untuk sedikit mengakses informasi, hanya untuk sekedar melihat apa yang sedang terjadi di dunia. Jika ada yang bermanfaat, langsung ambil. Jika tidak, biarkan saja. Semoga bermanfaat!


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url